Israel misalnya, selalu menyatakan posisi legal internasional mereka atas Yerusalem berasal dari Mandat Palestina (Palestine Mandate, 24 Juli 1922). Yang mana Liga Bangsa-Bangsa menjadi sumber utama legitimasi internasional PBB – mengakui “hubungan historis bangsa Yahudi dengan Palestina” dan menghendaki agar Palestina sebagai “National Home Bangsa Yahudi”. Mandat tersebut tidak memperlakukan Yerusalem secara terpisah dari wilayah Palestina lainnya. Mandat Palestina yang aslinya disebut “The British Mandate for Palestine” diputusakan dalam sebuah konferensi yang diselenggarakan pasca perang dunia I oleh Dewan Tertinggi Sekutu di San Remo, Italia pada tanggal 19 – 26 April 1920. Keputusan itu disahkan oleh Liga Bangsa-Bangsa pada tanggal 24 Juli 1922.
Mengenai istilah National Home bagi Bangsa Yahudi terulis dalam pasal 2 dan juga dalam pembukaan dalam mandat Palestina. Dalam pasal 2 itu juga disebutkan (Inggris) juga berkewajiban untuk “melindungi hak-hak sipil dan agama bagi semua penduduk Palestina, terlepas dari apa agama dan ras mereka”. Hal ini sangat penting namun jarang disebutkan oleh Bangsa Israel.
Tetapi “hak” Israel yang mendasarkan pada mandat Palestina yang diputuskan di San Remo, dan juga perjanjian Sevres, serta Deklarasi Balfour, dipatahkan oleh Inggris oleh apa yang disebut “Churchill White Paper” atau “White Paper of 1922”. Didalamnya ini Inggris tidak mendukung sebuah nation yang terpisah, yang disebut sebagai Jewish Nation Home. Yang didukung Inggris adalah pembentukaan komunitas Yahudi di Palestina. Selain itu dalam salah satu alineanya “Churchill White Paper” juga menyangkal “sebuah pembentukan Palestina Yahudi seluruhnya”. Dan menyatakan bahwa pemerintah inggris tidak ingin melihat Palestina menjadi “Yahudi-nya Inggris”.
Sementara Palestina menyatakan bahwa Yerusalem atau Al-Quds akan menjadi Ibukota Negara Palestina di masa mendatang, didasarkan atas klaim sejarah, agama, dan jumlah penduduka di kota itu. Lewat pidatonya di Johannesburg, Afrika Selatan, 10 Mei 1994, Yasser Arafat menyatakan, “Saya menyatakan ini untuk memberikan bukti apa yang mereka (Israel) katakan Yerusalem Ibukota mereka itu tidak benar. Yerusalem bukan Ibukota mereka. Yerusalem adalah Ibukota kami.”
Saling klaim atas Kota Yerusalem terus terjadi. Status Yerusalem sangat berkait dengan masa depan perdamaian Timur Tengah, bahkan barangkali perdamaian di dunia. Rasanya tidak akan pernah ada penyelesaian konflik Israel-Palestina kalau tidak ada penyelesaian menyangkut status Yerusalem. Perdamaian akan baru muncul bila penyelesaian status menyangkut Yerusalem bisa diterima oleh kedua belah pihak secara ikhlas.
Setiap kali digelar perundingan untuk Israel dan Palestina menyangkut status Yerusalem, selalu tidak mudah untuk dicapai kesepakatan. Bahkan, bukannya tidak mudah melainkan perundingan pun menemui jalan buntu. Karena Yerusalem mengikat begitu kuat baik hati maupun pikiran kedua belah pihak.
Yerusalem adalah simbol. Sebuah simbol yang memiliki kekuatan yang begitu dahsyat bagi pemilik simbol tersebut. Apalagi simbol agama. Ia lebih dari sebuah simbol biasa. Oleh karena itu sulit mengkompromikan simbol-simbol agama. Dan Yerusalem merupakan sebuah simbol agama yang memiliki kekuatan yang begitu besar bagi tiga agama : Yerusalem adalah pusat Yudaisme; Yerusalem adalah kota suci ketiga bagi umat Muslim; dan Yerusalem merupakan tempat “peristiwa utama” Kristen terjadi, yaitu penyaliban dan kebangkitan Yesus serta kenaikan ke Surga.[7]
[7] Kuncahyono, Trias. “Jerusalem : Kesucian, Konflik, dan Pengadilan Akhir”. (Jakarta : PT Kompas Media Nusantara, 2008). Hlm 256 – 258.
Belum ada tanggapan untuk "Yerusalem; Status Kota"
Post a Comment