Apabila pada masa pemerintahan kolonial Belanda kehidupan kesenian banyak dituntun oleh kaidah-kaidah barat sedemikian rupa sehingga tertanam nilai bahwa dunia barat adalah orientasi yang tepat untuk acuan tinggi peradaban, maka pada masa pendudukan Jepang bekas-bekas pengaruh barat itu hendak dihapuskan. Caranya bukan dengan menggantinya dengan segala sesuatu yang “Jepang”, melainkan dengan memacu kemampuan cipta dari seniman-seniman Indonesia sendiri untuk menciptakan karya-karya yang berisi tentang keindonesiaan. Hal ini terwujud dalam munculnya karya seni, khususnya seni rupa dan seni sastra, serta juga musik yang mengacu permasalahan hidup pada waktu itu. Terkait dengan seni sastra itu adalah naskah drama beserta aktualisasinya ke dalam pementasan. Pemerintah pendudukan Jepang menggerakkan potensi budaya orang Indonesia itu antara lain dengan membentuk Keimin Bunka Shidosho di tahun 1943 semacam badan pembina kebudayaan.
Para seniman Indonesia mendapat dukungan di masa pendudukan Jepang dan selanjutnya tetap berkarya di masa kemerdekaan Indonesia. Untuk pencipta musik, mereka menciptakan musik dengan pesan-pesan berisi tentang perjuangan bangsa, seperti Wage Rudolf Supratman, Kusbini, Cornel Simanjuntak, dan Ismail Marzuki. Karya-karyanya antara lain “Bagimu Negeri” oleh Kusbini, “Maju Tak Gentar” oleh Cornel Simanjuntak, “Rayuan Pulau Kelapa” dan “Halo Halo Bandung” oleh Ismail Marzuki.
Belum ada tanggapan untuk "Perkembangan Seni Pertunjukan Indonesia Pada Zaman Pendudukan Jepang"
Post a Comment