Nasionalisasi De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia

Source: Tropenmuseum.nl
Pada tahun 1800, pasca pembubaran VOC, pemerintah Hindia Belanda mengalami berbagai macam kesulitan ekonomi. Berbagai macam kebijakan keuangan harus dilakukan sendiri tanpa pengaturan dari bank sirkulasi. Pemerintah juga sangat kewalahan menghadapi kebijakan moneter dan fiskal tanpa adanya lembaga keuangan lainnya serta dalam neraca perdagangan juga Pemerintah Hindia Belanda sangat membutuhkan emas dan perak untuk menutupinya. Kondisi inilah yang menyebabkan pendirian bank sirkulasi untuk Pemerintah Hindia Belanda.

Pada 16 Juli 1823, negeri Belanda mengirimkan rancangan oktroi untuk suatu bank yang akan disebut sebagai Der Nederlandsceh Oost-Indische Bank. Kemudian, atas bantuan Raja Willem I, maka didirikanlah De Javasche Bank sebagai bank sirkulasi milik pemerintah Hindia Belanda pada 9 Desember 1826. Beberapa saham milik De Javasche Bank adalah Pemerintah Hindia Belanda, Nederlandsche Handel Maatschappij (NHM) dan beberapa pejabat pemerintah termasuk Komisaris Jenderal Du Bus de Gisignies. Setelah De Javasche Bank didirikan, Mr. C. De Hann dinyatakan sebagai Presiden De Javasche Bank dengan J.C. Smulders sebagai sekretarisnya. De Javasche Bank seara resmi beroperasi setelah mengalami berbagai macam struktur organisasinya adalah pada tanggal 20 April 1830.

Posisi De Javasche Bank bersifat semi-pemerintah, selain perannya sebagai bank sentral yaitu mempunyai hak monopoli untuk mengeluarkan uang kertas, kasir pemerintah, dan mengatur sistem moneter negara, De Javasche Bank mempunyai sifat dwi-fungsi pada segi tugasnya. Selain sebagai bank sentral, posisi De Javasche Bank juga seperti bank umum yang berhak mengeluarkan kredit kepada perorangan/perusahaan. Posisi De Javasche Bank bersifat semi-pemerintah.

            Pada tahun 1922, De Javasche Bank telah mengalami berbagai perkembangan, baik dari segi usaha maupun jaringan kantornya serta hukumnya juga mengalami perubahan. Pada oktroi ke-8, secara garis besar fungsi dan tugas De Javasche Bank berdasarkan Bankwet 1922, antara lain:
a. Mengeluarkan uang kertas.
b. Memperdagangkan logam mulia dan alat-alat pembayaran luar negeri.
c. Memberikan kredit kepada perusahaan dan perseorangan.
d.  Memberikan uang muka kepada perusahaan-perusahaan dengan jaminan surat-surat berharga atau barang dagangan.
e.  Bertindak sebagai kasir pemerintah dan memberikan uang muka jangka pendek kepada Pemerintah Hindia Belanda sampai sejumlah 6 juta gulden tanpa bunga.
f.   Menyelenggarakan kliring antarbank.

            Dalam periode ini, De Javasche Bank telah berkembang pesat. Selain kantor pusatnya di Batavia, De Javasche Bank telah memiliki 16 kantor cabang, yaitu Bandung, Cirebon, Semarang, Yogyakarta, Surakarta, Surabaya, Malang, Kediri, Kutaraja, Medan, Padang, Palembang, Banjarmasin, Pontianak, Makassar, dan Manado. Serta terdapat beberapa kantor lainnya diluar negeri seperti Amsterdam, Belanda, dan New York, Amerika Serikat.

Cita-cita bangsa Indonesia memiliki bank sentral yang lahir dari jiwa dan raga bangsa Indonesia terus diperjuangkan. Diharapkan dengan adanya bank sentral yang lahir dari bangsa Indonesia, dapat mencapai yang diharapkan rakyat Indonesia pasca kemerdekaan yaitu kesejahteraan sosial. Maka dari itu, sebulan setelah Indonesia meraih kemerdekaan, didirikanlah “Jajasan Poesat Bank Indonesia” yang dibentuk berdasarkan surat kuasa Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Mohammad Hatta. The Founding Father merasa bahwa makna Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 belum dikatakan merdeka secara menyeluruh bila sektor ekonomi masih dimiliki oleh pihak asing.

Yayasan Pusat Bank Indonesia diberi wewenang oleh pemerintah untuk melakukan kegiatan sabagai bank umum yang memberi  kredit, mengeluarkan obligasi, menerima simpanan giro, deposito, dan tabungan, serta memberikan informasi dan penerangan dalam bidang ekonomi. Hal itu dilakukan karena dirasa tidak mungkin mendirikan bank negara dengan waktu yang singkat. Barulah tanggal 17 Agustus 1946, berdiri bank sirkulasi pertama milik Pemerintah Indonesia yaitu Bank Negara Indonesia (sekarang BNI 46) sesuai dengan Perpu No. 2 Tahun 1946.

Pasca berakhirnya Perang Dunia Ke-II, terjadi perbaikan pasca perang di segala bidang termasuk dalam bidang ekonomi. Di Indonesia, De Javasche Bank kembali menjadi bank sirkulasi dan menata kembali perbankan yang ada di Indonesia. Namun yang menjadi titik beda, pemerintahan di Indonesia saat itu terbelah menjadi dua yaitu wilayah pemerintahan Republik Indonesia dan wilayah pemerintahan yang dikuasai NICA. Hal ini disebabkan kembalinya Belanda ke Indonesia pasca kemenangan sekutu atas Jepang. Hal tersebut juga berdampak dalam bidang perekonomian, di wilayah Pemerintahan Republik Indonesia terdapat bank sentral yang bernama Bank Negara Indonesia (BNI) dan di Pemerintahan NICA, bank sentral dipegang oleh De Javasche Bank.

Selama periode 1945-1949 De Javasche Bank terus membuka cabang-cabang kantornya di beberapa kota di Indonesia. De Javasche Bank terus bertahan meskipun pada periode tersebut, terjadi peperangan sengit antara pro-republik Indonesia dengan pasukan NICA. Barulah pasca KMB terdapat suatu peraturan yang mengukuhkan DJB sebagai bank sirkulasi/bank sentral di wilayah Republik Indonesia Serikat. Sementara BNI yang sebelumnya adalah bank sentral milik pemerintah RI ditugaskan sebagai bank pembangunan.

Kesepakatan De Javasche Bank sebagai bank sentral dirasa masih terpengaruh oleh kepentingan kolonial. Posisi De Javasche Bank menjadi dilematis karena suatu negara mempunyai bank sentral yang masih berada dibawah pengaruh kepentingan lain. A. Karim seorang pemikir nasionalis pun menyerukan didirikannya bank sentral yang lebih sesuai dengan cita-cita negara yang betul-betul merdeka.  Maka, isu nasionalisasi De Javasche Bank semakin menguat dan cita-cita mendirikan bank sentral dari jiwa dan raga Indonesia juga semakin kuat. Apalagi sesuai dengan amanat penjelasan Pasal 23 (3) UUD 1945, menguatkan posisi Bank Indonesia yang berhak mengatur peredaran uang di Indonesia. Selain itu, kebijakan nasionalisasi DJB merupakan salah satu usaha untuk mengatasi krisis moneter. Usaha itu digalakkan pada Kabinet Sukirman yang memerintah selama 10 bulan pada tahun 1951-1952.

Desakan nasionalisasi De Javasche Bank sebenarnya sudah diamini oleh Pemerintah Indonesia sejak Indonesia berdiri. Namun, pelaksanaan konkritnya baru  terasa pasca KMB atau tepatnya pada tahun 1951. Menteri Keuangan saat itu, Jusuf Wibisono mengumumkan dalam suatu wawancara pers niatan pemerintah untuk menasionalisasi De Javasche Bank dalam waktu singkat. Dan berlanjut menyampaikannya kepada parlemen pada tanggal 28 Mei 1951. Parlemen menyetujui gagasan Menkeu saat itu, lalu pemerintah membentuk Panitia Nasionalisasi De Javasche Bank yang terdiri dari pejabat Kemenkeu, antara lain Soetikno Slamet (Ketua Panitia), Moh. Soediono, Soemitro Djojohadikusumo dan lain-lain.

Dalam proses nasionalisasi De Javasche Bank, berdasarkan tafsiran atas Pasal 19 Persetujuan Ekonomi-Keuangan KMB, tidak perlu lagi dengan persetujuan pihak Belanda. Sikap pemerintah mengenai nasionalisasi DJB ini hanya berarti pelaksanaa saja dari pernyataan di KMB.  Panitia nasionalisasi oleh pemerintah diberi wewenang untuk mengambil tindakan-tindakan persiapan dan mengadakan berbagai negoisasi nasionalisasi DJB atas nama Pemerintah RI. Selain itu, panitia ini juga berhak memberikan usulan kepada pemerintah mengenai tata cara nasionalisasi serta mengajukan usulan RUU Nasionalisasi.

Langkah konkrit panitia nasionalisasi adalah membeli saham-saham bank yang pada saat itu diperdagangkan dalam Bursa Efek di Amsterdam. Indonesia pun mengirim wakilnya ke Belanda untuk membicarakan pembelian saham kepada Menkeu Belanda, Lieftinck dan Perkumpulan Pedagang Efek. Pembelian saham juga termasuk aset-aset De Javasche Bank yaitu gedung, barang inventaris, dan persediaan emas yang ditaksir sebesar 1 Miliar. Pada 15 November 1951, 97 persen saham DJB berhasil dibeli dengan nilai 9 juta rupiah dan diumumkan pemerintah di dalam surat-surat kabar di Indonesia dan Belanda.

Dan pada 15 Desember 1951, pemerintah mengumumkan nasionalisasi De Javasche Bank lewat UU. Nomor 24 tahun 1951 tentang Nasionalisasi De Javasche Bank N.V. Telah disahkannya undang-undang mengenai nasionalisai DJB menandakan telah resminya DJB sebagai bank milik pemerintah, bukan lagi kepemilikan swasta. Untuk sementara aturan operasional DJB masih didasarkan pada De Javasche Bankwet 1922.

Langkah berikut dari pemerintah adalah merancang undang-undang baru tentang bank sentral. Rencana undang-undang Pokok Bank Indonesia kemudian disampaikan Pemerintah kepada parlemen pada bulan September 1952. Pada tanggal 10 April 1953, Parlemen telah selesai membicarakannya dan memberikan  persetujuan atas RUU tersebut setelah mengadakan beberapa perubahan yang penting di dalamnya. Pada tanggal 19 Mei 1953, RUU tersebut telah disahkan oleh Presiden Soekarno dan diumumkan pada 2 Juni 1953. Dan pada akhirnya, UU No. 11 Tahun 1953 tentang Undang-Undang Pokok Bank Indonesia dinyatakan berlaku pada 1 Juli 1953, dan setiap 1 Juli diperingati sebagai hari lahirnya Bank Indonesia.

Dengan lahirnya Bank Indonesia, ditandakan sebagai simbol kedaulatan Indonesia di bidang ekonomi dan moneter. Setelah hampir 8 tahun Indonesia merdeka, pada akhirnya Indonesia mempunyai bank sentralnya sendiri. Sebuah harapan dan tantangan baru yang harus dihadapi Indonesia demi stabilnya perekonomian bangsa dengan Bank Indonesia sebagai ujung tombaknya.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Nasionalisasi De Javasche Bank Menjadi Bank Indonesia"

Post a Comment