Fransiskus Xaverius (1506-1552) seorang rahib dari Ordo Jesuit, adalah perintis Gereja Katolik di Jepang. Beliau membawa Injil ke kawasan Asia, antara lain ke India, kepulauan Maluku, Jepang, dan hampir tiba di Tiongkok namun keburu ia meninggal sebelum mencapainya. Xaverius perannya sebagai misionaris multi-etnis yang mendatangi pelbagai suku, etnis, budaya, bahasa dan bangsa.
Saat Xaverius berada di Malacca (Malaya), ia bertemu dengan Anjiro, seorang buronan yang kabur dari Jepang. Ia beremu dengan Xaverius dan mendengar Injil yang disampaikan oleh Xaverius, Anjiro dibaptis dan menjadi Katolik. Xaverius merasakan dorongan untuk menjangkau ke Jepang, Xaverius berlayar ke Jepang bersama tiga rekan sesama Ordo Jesuit dan tiga orang Jepang. Pada tahun 1549, rombongan itu mendarat di Kagoshima di Pulau Kyushu. Pada era sebelumnya Jepang menutup diri dari keberadaan orang asing, tidak siap menghadapi pengaruh dari luar. Pihak asing dianggap sebagai potensi penggangu stabilitas.
Xaverius tiba di Jepang saat perubahan politik sudah mulai berubah. Para Daimyo (penguasa militer yang berkuasa di wilayah tertentu) mengambil alih kekuasaan mereka masing-masing. Wibawa pemerintah pusat di Kyoto yang dipegang oleh para Shogun sedang merosot, sehingga tidak sanggup mengendalikan para Daimyo. Padahal dukungan Daimyo akan memudahkan Xaverius. Di Jepang saat itu pengaruh agama Buddha sangat mayoritas, selain itu muncul juga aliran Tanah Suci (Jodo Shinsu dan Jodo Shu) yang berciri radikal di Jepang, kehadiran aliran itu dicurigai oleh para penguasa di Jepang, situasi masyarakat sedang labil dan mudah berubah.
Xaverius mempersiapkan pelayanannya dengan baik antara lain beliau belajar bahasa Jepang dan kepribadian masyarakatnya. Tatkala tiba di Jepang Xaverius sedikit menguasai bahasa Jepang. Xaverius mulai melayani orang-orang Jepang dan kelompok pertama yang dibaptis adalah keluarga Anjiro. Namun dalam pelayanannya kaum Jesuit menghadapi banyak kesulitan, yang terutama adalah menerjemahkan Injil ke dalam bahasa Jepang. Contoh, Dengan mengikuti saran dari Anjiro mereka menggunakan kata Dainichi untuk menyebut Tuhan. Padahal, istilah itu adalah ditujukan untuk Dewi Kesuburan dalam agama Buddha. Setelah memahami menggunakan banyak kata itu tidak tepat, mereka segera menggantinya dengan terminologi teologi Portugis atau Latin. Selama tiga tahun bermukim di Jepang, 2000 orang telah dibaptis. Meskipun beliau tidak menguasai bahasa Jepang dengan sempurna, tetapi dampak kepribadian, wibawa dan pengabdiannya luar biasa.
Pada tahun 1552, Xaverius meninggalkan Jepang untuk mencari bantuan pendanaan dan merekrut lebih banyak misionaris. Selain itu Xaverius juga tergerak untuk menjangkau Tiongkok. Xaverius mewariskan strategi pelayanan orang-orang Jepang kepada utusan-utusan misi berikutnya. Dengan metodenya, 1) dengan menyadari peranan sistem sosial, politik, dan budaya, Xaverius berpendapat bahwa para misionaris harus terlebih dahulu memenangkan para pemimpin. 2) Xaverius sangat terpesona dengan peradaban tinggi masyarakat Jepang. Dengan tujuan pendekatan beliau bersedia menggunakan beberapa unsur filsafat Jepang untuk menjembatani pengajaran agama Katolik. Beliau juga menganjurkan para padri Eropa agar meniru gaya berbusana orang Jepang, sopan santun mereka, kebersihan dan keramahan mereka. Seperti dalam suratnya terhadap kebudayaan Jepang:
“Mereka itu ras terbaik dari yang pernah ditemukan, dan kupikir tidak ada orang-orang non-Kristen lainnya yang setara dengan mereka. Hubungan sosial mereka sangat mengagumkan, demikian juga norma kehormatan mereka.... yang mengherankan saya ialah bangsa ini meskipun berbeda dari kami, peradaban mereka ternyata tinggi."
Para misionaris sangat menyambut baik usul Xaverius untuk menjangkau kalangan atas terlebih dahulu, maka sejak tahun 1563, para misionaris berfokus untuk memenangkan para Daimyo. Sampai tahun 1575 tercatat 50.000 orang menganut agama Katolik di Jepang. Pada tahun-tahun berikutnya lebih banyak lagi orang masuk ke agama Katolik. Menurut perkiraan tahun 1600, terdapat 300.000 orang telah dibaptis, dengan perbandingan penduduk Jepang pada masa itu sekitar 20 juta jiwa.
Langkah para misionaris Jesuit semakin jauh lagi. Mereka membuka sebuah seminari dengan 87 orang mahasiswa aktif berkuliah. Pada tahun 1601, 250 orang Jepang sudah siap ditahbiskan menjadi imam, namun tidak ada satu pun keuskupan Asia datang untuk mentahbiskan mereka.
Ilustrasi Penyaliban 26 Martir di Kota Nagasaki 1597 |
Para Shogun berikutnya juga bertindak sama melanjutkan kebijakan Hideyoshi, Shogun Ieyasu memburu orang-orang beragama Kristen. Menurut perkiraan sekitar 5000-6000 orang Jepang terbunuh pada periode 1614-1637. Lalu pada pemberontakan Shimabara pada tahun 1637-1638, menyebabkan ribuan orang Kristen telah di eksekusi mati. Sampai tahun 1651 orang-orang Kristen terpaksa menjalankan ajaran secara sembunyi-sembunyi, tanpa dukungan seorang imam. Meski menderita Gereja senantiasa bergerak di Jepang dengan aktivitas bawah tanahnya atau sembunyi-sembunyi sampai tahun 1861, atau selama kurang lebih 200 tahun.
Belum ada tanggapan untuk "Sejarah dan Perkembangan Masuknya Agama Katolik di Jepang"
Post a Comment