Masyarakat Jawa dan Nilai Budaya

Source: media-kitlv.nl


Antroposentrisme
Sifat-sifat yang antroposentrisme, yaitu semua itu berpangkal pada “antropos” (manusia) kalau ingin memperbaiki semua bentuk hidup dan kehidupan ini namun sekaligus teosentrisme pula, dalam arti faktor Tuhan tetap menjadi sumber pedoman spiritual tertinggi. Hal ini didasarkan bahwa mikrokosmos (manusia,antropos), dapat “ngiribi” sifat Tuhan, manakala manusia senantiasa berusaha untuk “manunggaling kawula Gusti”. Dalam konteks kebudayaan Jawa “manunggal kawula-Gusti” senantiasa dipakai dalam dua konteks yaitu konteks sosio-kultural dan konteks religio-spiritual (mistik). Pada hakekatnya, sekalipun dibagi dalam dua konteks, namun bagi masyarakat Jawa istilah “manunggaling kawula-Gusti”tersebut tetap merupakan pengalaman pribadi yang bersifat tak terbatas sehingga sangat sukar digambarkan dan dijelaskan dengan kata-kata untuk dapat dimengerti oleh orang lain.

 Etika Sebagai Pedoman Hidup
      Berdasar prinsip “antroposentrisme” dan “teosentrisme”, maka rumusan etika menjadi sentral. Etika yang terkesan bernuansa antroposentrismeini tidak berarti meninggalkan Tuhan, atau dengan kata lain tidak meninggalkan konsep teologis. Sebab etika yang dituntut di situ tetap harus berwarna “manunggaling kawula-Gusti” yang menghasilkan “jalma winilis”. Ada hal yang harus mendapat penjelasan seperlunya tentang “etika” yang dimaksud oleh orang Jawa, yaitu bahwa sering istilah “etika dipahami sebagai “ilmu”. Menurut orang Jawa “etika” itu bukan sekedar “ilmu” tetapi harus menyatu dengan “praktek sekaligus”, bagaikan sisi mata uang logam: satu sisi sebagai ilmu (teori) dan sisi lain adalah prakteknya dalam kenyataan hidup.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Masyarakat Jawa dan Nilai Budaya"

Post a Comment