Agraria; Bagi Hasil di Hindia Belanda (Minangkabau)

Source:Tropenmuseum

Istilah untuk bagi hasil di minangkabau tergantung pada syaratnya, karena istilah umumnya tidak ada. Maro  disebut mampaduakan atau mampatigai, diambil dari kata dua dan tiga. Orang juga berbicara tentang diperduai atau dipertigai,yang hanya merupakan bentuk pasif. Tetapi istilah ini juga dipakai dalam bagi usaha. Tanahnya sendiri, yang diserahkan dengan cara demikian itu, disebut harto pasaduan dan harto patigoan,atau juga sawah bapadua atau sawah bapatiga. Istilah manyasi dipakai oleh van hasselt.
Yang dimaksud dengan ujuang padi (dari ujung) ialah bagian dari hasil panen yang harus diserahkan oleh penggarap. Penggarap disebut dengan anak samang (samang = orang yang meminjamkan uang).
Tanpa keberatan, tanah juga dapat digarap secara bagi hasil oleh orang asing. Resume Sumatera (1872) juga memberitakan, bahwa seringkali penggarap sawah merupakan orang asing. Dalam pengertian sawah, apabila sawah itu tidak dapat dikerjakan pemiliknya sendiri, baik karena kekurangan tenaga di pihaknya sendiri maupun ketidakadaan waktu, maka sawah itu dapat dikerjakan oleh ahlinya, yakni petani penggarap. Caranya ialah dengan saduo, artinya pemilik dan penggarap akan membagi dua hasilnya.
Dalam sistem saduo  itu tidak berarti hasilnya dibagi dua sama banyak, melainkan hasilnya dibagi dua yang tidak sama banyak antara mereka. Perimbangan bagi hasil itu tergantung pada lokasi dan kondisi sawah. Jika lokasinya jauh dan tanahnya kurang subur maka petani penggarap akan mendapatkan perolehan lebih banyak.
Meskipun telah disepakati, kedua belah pihak terikat pada persyaratn lainnya antara lain: 1) benih disediakan oleh pemilik. 2) antara jarak waktu panen dan turun ke sawah kembali, pihak penggarap boleh menggarap sawah itu dengan palawija, yang semata-mata hasilnya hanya untuk petani. 3) Kerusakan yang terjadi karena bencana alam menjadi tanggung jawab kedua belah pihak. 4) bila penggarap meninggal dunia, haknya diteruskan kepada ahli warisnya.
Willinck (1909), melaporkan bahwa terdapat mampaduai atau mampatigai untuk ladang. Tetapi pada ladang terdapat keanehan, bahwa biasanya yang dibagi hanya hasil nan kare (yang keras). Yang dimaksudkan disini ialah hasil palawija dan sayuran yang ditanam penggarap, yang disebut dengan nan mude (yang muda, jadi tanaman yang berumur satu tahun), untuk penggarap. Pemilik tanah hanya mendapat atas sebagian dari kayu dan buah-buahan yang dipanen oleh penggarap dan juga sudah dipanen jauh sebelumnya.
Persyaratan bagi hasil; seorang buangan politik melaporkan (± 1883), bahwa tanah disebelah bawah kurang berharga daripada dengan yang disebelah atas, karena penduduknya jarang. Oleh karena itu penggarap disebelah bawah menerima 2/3 dari hasil, sementara di atas hanya 1/2.
            Dalam tulisan Kroesen (1874) dikatakan bahwa penggarap harus menyerahkan 1/3 atau 1/2. Dalam bukunya Van Bosse (1895) mengatakan bahwa pemilik konon menerima 9/10 sampai 1/2 dari hasil panen. Van Ophuysen (1855) melaporkan bahwa hasil pohon buah-buahan dibagi dua, sementara “pembasuh mulut”, berupa sayuran dan biji-bijian untuk penggarap.
            Menurut Van Hasselt (1882) pemilik ikut membantu dengan atau tanpa hewan kerja; kemungkinan lainnya memang tidak ada. Willinck berpendapat bahwa kalau tidak dibuat perjanjian lain yang jelas, maka pemilik menyediakan hewan, bajak dan benih. De Waal menuliskan bahwa pemilik menyerahkan bibit pada mapaduai, kadang-kadang juga tidak memberikan apa-apa. Joustra mengatakan bahwa pemilik kadang-kadang membantu, misal dengan meminjamkan hewan bajak.

            Dalam tahun 1920 konon sudah menjadi biasa bahwa semua biaya yang menyangkut hewan bajak dan benih menjadi tanggungan penggarap. Tetapi adakalanya penilik tanah menyediakan padi untuk bibit. Dengan keadaan demikian, bila bagi hasil dilanjutkan, padi untuk bibit dikurangkan dulu dari hasil panen, baru dilakukan pembagian.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Agraria; Bagi Hasil di Hindia Belanda (Minangkabau)"

Post a Comment