Sistem Sosial Ekonomi Abad XIX

Kependudukan dan sumber kehidupan
            Berdasar sumber tertulis mengenai kependudukan, ialah buku History of Java tulisan Raflles, penduduk Jawa pada awal abad ke XIX berjumlah 4.615.270 jiwa diantaranya lebih dari 1,5 juta hidup di daerah kerajaan dan kira-kira 3 juta ada yang langsuh diperintah oleh pemerintah kolonial.
            Pada awal abad ke XIX Jawa sudah merupakan daerah agraris sebagian penduduknya hidup dari pertanian, termasuk peternakan. Pertanian diusahakan secara tradisional, teknologi yang digunakan juga bersifat tradisional memadai untuk memenuhi kebutuhan hidupnya yang masih ada pada tingkat subsistensi.

Dirk van Hogendorp (1799 – 1808)
Dalam menghadapi kondisi kehidupan rakyat yang serba terbelakang menurut kaum liberal kesemuanya itu disebabkan oleh sistem feodal yang mematikan semua hasrat rakyat. kembali, pemilikan atau penguasaan tanah sebagai sumber pemerasan dicabut dan tanah dikembalikan ke rakyat.
 Dengan sistem baru itu diharapkan rakyat semakin giat menanam dan menghasilkan kopi, beras, lada, kapas, coklat dan minyak kelapa. Hal itu untuk mendorong perkembangan pasar dan produksi ekspor.

Herman Willem Daendels (1808 -1811)
            Dijiwai oleh ideologi yang sama, daendels menjalankan pemerintahanya dengan memberantas sistem feodal yang sangat diperkuat VOC. Keadaan yang masih berlaku di VOC ialah bahwa para bupati dan penguasa daerah lainnya masih memegang peranan dalam perdagangan. Sebagai perantara mereka memperoleh keuntungan prosenan kultur, yaitu persentase tertentu dari harga tafsiran penyerahan wajib dan kontingen yang dipungut dari rakyat.
            Faktor penghambat kedua adalah bahwa dalam struktur feodal kedudukan bupati sangat kuat, sehingga setiap tindakan perubahan tidak dapat berjalan tanpa kerja sama mereka. Kepemimpinan nya sangat kuat sehingga tidak mudah menggeser kedudukannya.
            Faktor ketiga terdapat dalam tugas pemerintahan Daendels sendiri yang perlu untuk mempertahankan pulau Jawa dari serangan Inggris. Sehubungan dengan itu perhubungan di Jawa perlu dibangun, antara lain dengan pembuatan jalan raya yang menghubungkan daerah-daerah di Jawa dari Anyer sampai Panarukan, kemudian dikenal dengan jalan raya Pos (Grote Postweg).
            Dengan dibangunnya jalan raya Pos diletakkannya prasarana yang sangat penting bagi perkembangan ekonomi, sosial, politik di Jawa, tidak hanya dalam bidang transportasi tetapi juga dalam bidang administrasi pemerintahan dan mobilitas sosial.

Thomas Stamford Raffles (1811 – 1816)
            Pemerintahan Raffles didasarkan atas prinsip-prinsip liberal, jadi politik kolonial yang hendak mewujudkan kebebasan dan kepastian hukum. Prinsip kebebasan mencakup kebebasan menanam dan perdagangan, keduanya akan menjamin adanya kebebasan produksi untuk ekspor. Raffles bermaksud menerapkan politik kolonial yang dijalankan Inggris di India, menurut suatu sistem yang disebut sitem pajak tanah (landrent-system).
Pokok-pokok sistem Raffles sebagai berikut :

·         Penghapusan seluruh pengerahan wajib dan wajib kerja dengan memberi kebebasan penuh untuk kultur dan berdagang.
·         Pemerintah secara langsung mengawasi tanah-tanah, hasilnya dipungut langsung oleh pemerintah tanpa perantara bupati yang tugasnya terbatas pada dinas-dinas umum
·         Penyewaan tanah di beberapa daerah didasarkan kontrak dan terbatas waktunya.

Struktur Sosial
            Dalam lingkungan desa dimana kehidupan rakyat terutama masih pada tingkat subsistensi serta ekonominya belum sepenuhnya terbuka, hubungan masyarakat masih bersifat komunal, solidaritasnya terutama berdasar perasaan. Diferensiasi dan spesialisasi masih rendah, warga desa pada umumnya adalah petani, maka dalam homogenitas seperti itu berkembanglah sistem tukar-menukar tenaga dan jasa berdasarkan prinsip timbal balik, suatu sistem sumbangan, tolong-menolong, punjungan, atau apa yang lazim disebut dengan gotong royong. Berdasrkan ikatan ini tidak diberlakukan uang sebagai upah, tenaga dapat dikerahkan menurut prinsip pertukaran. Dengan demikian tenaga sebagai modal belum bebas dari keserikatan tradisi desa.



Kedudukan Bupati di Tanah Gubernemen
            Pada awal abad ke XIX dalam sistem kolonial yang mempertahankan struktur feodal masyarakat Indonesia, kedudukan para bupati sangat strategis. Dalam sistem pemerintahan tak langsung bupati memegang peranan rangkap. Mereka tetap mempunyai kedudukan sebagai penguasa teratas di daerahnya, di samping itu mereka berperan sebagai perantara antara penguasa kolonial dengan rakyat, suatu kedudukan yang menambah kekuasaan politik. Seperti yang lazim terjadi apabila penguasa daerah ada dalam posisi jauh dari kekuasaan pusat maka bertambah kuat kedudukannya. Menurut sistem feodal yang telah berlaku berabad-abad para bupati di daerahnya mempunyai tanah kedudukan serta hak memungut hasil seta mengerahkan tenaga penduduknya untuk berbagai keperluan jabatan dan rumah tangganya. Suatu kecenderungan yang timbul bahwa bupati masa itu ialah bupati menjalankan knevelarijen, suatu pemerasan terhadap rakyat.

Penyewaan Desa
            Suatu kelembagaan yang relah berakar sejak zaman kumpeni ialah adanya desa-desa yang disewakan kepada pihak swasta, seperti kaum Cina yang dengan penyewaan itu mendapat hak memungut hasil dan tenga rakyat seperti pihak yang menyewakan : VOC atau seorang penguasa pribumi. Para penyewa mempunyai kedudukan seperti para bupati. Pungutan hasil serta pengerahan tenaga itu dilakukan selama waktu sewa yang diizinkan, seperti 3, 5, 10 tahun sewa. Dengan demikian hak-hak feodal dipindahkan kepada penyewa yang lazimnya sudah tentu mempunyai hasrat besar untuk mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya, akibatnya beban rakyat semakin berat.

Struktur Feodal Masyarakat Jawa Awal Abad XIX
            Cirebon, Tegal, Pekalongan, Semarang, Jepara, Rembang, Tuban, Surabaya, Pasuruan, Madura, dan Banyuwangi, masyarakat di daerah tersebut mempunyai struktur feodal yang kuat. Sebelum tahun 1743 daerah tersebut ada dalam wilayah kerajaan. Pada waktu dimana pengaruh kekuasaan raja sangat despotis telah mengubah status tanah di pedesaan. Dikatakan bahwa permintaan dan tuntutan para raja dan kemudian bupati-bupati, baik yang berupa pajak in natura maupun wajib kerja wajar. Di daerah agraris tanah sudah barang tentu merupakan alat produksi yang utama maka tidak mengherankan apabila para penguasa cenderung untuk mengontrol pemakainnya dengan demikian juga hasilnya.

            Dengan penguasaan yang dipaksakan dari atas, pemerasan hasil sebanyak-banyaknya membawa akibat yang luas. Banyak rakyat yang pindah untuk menghindari tekanan itu atau membagi tanah kepada warga desa lain agar dapat turut memikul beban yang dibeikan oleh atasan. Struktur feodal yang sangat kuat di daerah kerajaan, dimana kekuasaan raja atas tanah rakyat tidak terbatas karena unsurpasi kekuasaan yang despotis dan yang telah berjalan beberapa abad. Tekanan yang sudah sangat berat bagi rakyat ditambah lembaga di tanah kerajaan yang terkenal sebagai apanage.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Sistem Sosial Ekonomi Abad XIX"

Post a Comment