Pembahasan tentang sistem apanage akan banyak menemui kesulitan jika tidak dibicarakan sistem tanah dalam sistem politik kerajaan. Peranan tanah beserta mekanismenya menciptakan timbulnya interkasi sosial dalam masyarakat. Dengan kata lain, sistem apanage menentukan dan mengatur pola hubungan sosial politik masyarakat agraris.
Berdasarkan teori milik raja (vorstendomein) dari Rouffaer, raja adalah pemilik tanah seluruh kerajaan, dan dalam pemerintahannya ia dibantu oleh para birokrat yang terdiri dari sentana dan narapraja. Mereka diangkat oleh raja berdasarkan orientasi kepada status dan askripsi. Mereka diberi tanah apanage atau tanah lungguh sebagai gaji yang merupakan imbalan jasanya.
Mengikuti pendapat bahwa hak atas tanah tertinggi ada pada raja, maka disamping raja menggunakan tanah untuk memenuhi kebutuhan sendiri, tanah-tanah itu juga diberikan sementara kepada sentanadan narapraja sebagai bumi gadhuhan. Menurut fungsinya tanah-tanah di Kasunanan dan Mangkunegaran dibedakan menjadi :
1. Bumi Narawita, yaitu tanah yang menghasilkan sesuatu (barang) yang ditentukan dan diperlukan oleh raja. Tanah-tanah itu terdiri dari, a) Bumi Pamajegan, yang menghasilkan pajak uang; b) Bumi Pangrembe, yang khusus ditanami padi dan tanaman lain untuk keperluan istana; c) Bumi Gladhag, yaitu tanah-tanah yang penduduknya diberi tugas transportasi, misalnya pada waktu pesta pernikahan, kematian, kelahiran dan pesta lainnya.
2. Bumi Lungguh atau tanah apanage, yaitu tanah yang diberikan kepada sentana dan narapraja sebagai gaji, tanah itu diberikan kepada sentana selama mereka mempunyai hubungan kekerabatan yang dekat dengan raja, dan kepada narapraja selama mereka masih menduduki jabatan pada pemerintahan.
Oleh karena itu, patuh diberi hak untuk memungut sebagian besar dari tanah apanagenya. Karena patuhbertempat tinggal di kuthagara, penggarapan apanagenya dilakukan oleh seorang bekel, yang selain mewakili patuh, juga dipercaya untuk memungut hasil bumi dari petani. Dalam arti sempit tugas seorang bekel adalah seorang pengumpul pajak dari petani di desa-desa, dan dalam arti luas ia juga harus mengawasi keamanan desa, termasuk menyediakan tanah dan tenaga kerja. Oleh karena itu meskipun patuh membebani bekeldengan berbagai tugas dan kewajiban, tugas itu dikerjakan dengan baik karena bekel dengan mudah mengerahkan petani. Bekel diangkat dan dikukuhkan dengan surat pengangkatan yang disebut dengan piagemyang didalamnya tercantum tugas, kewajiban dan sangsinya. Sebelum seorang bekel diangkat ia harus mendapat persetujuan dulu dari gunung, yaitu seorang penguasa distrik yang membawahi bekel. Selanjutnya orang yang diangkat sebagai bekelbaru adalah seorang yang tidak cacat jasmani dan tercela perbuatannya. Seorang bekel dilarang merusak desa, merugikan gubernemen, seperti memalsukan uang, menjual candu, arak, garam, dll. Pelanggaran larangan itu dikenakan sangsi yang dikategorikan sebagai perbuatan kejahatan, kether, dan kelalaian.
Sistem apanage, fungsi tanah adalah sangat vital karena tanah yang digarap oleh petani memberikan hasil yang disebut pajeg, dari pajak itu kehidupan ekonomi priyayi ditanggung oleh petani. Dengan kata lain pajak digunakan untuk membiayai pemerintahan kerajaan dan kehidupan patuh. Satuan tanah apanage disebut jung,yang terdiri dari empat cacah.Pembayaran pajak berbentuk uang atau barang. Pembayarannya di bumi pangrembe dilakukan dengan maro hasil dan di bumi pamajegan dibayar dengan uang, dengan perhitungan satu reeal setiap jung (1 reeal = f 2,80).
Jenis pajak yang terpenting disebut pacumpleng. Meski besarnya pajak hanya seperenam atau sepertujuh, tetapi karena setiap cacah harus membayar, jumlah keseluruhannya menjadi besar. Di beberapa tempat berlaku pajak untuk buah-buahan sebagai ganti pacumpleng. Selain itu pajak lain ada yang disebut pundhutan,pajak ini sebenarnya merupakan permintaan patuh pada upacara kelahiran, khitanan, perkawinan dan kematian.
Peranan bekel timbul karena sistem apanage yang mempercayai bekel sebagai penebas pajak yang dibayarkan secara teratur maupun okasional. Tertib tidaknya penarikan pajak dari petani sangat bergantung pada para bekel sebagai penanggung jawab. Rupanya tidak diragukan lagi bahwa sering terjadi kebocoran dalam pembayarannya sehingga sejumlah pajak yang diharapkan tidak sampai kepada patuh. Diperkirakan sikep tidak dapat memenuhi pasokan sehingga jumlah pemasukan berkurang, tetapi juga sangat besar kemungkinan pasokan itu sebelum sampai pada patuh diambil sebagian oleh kepala-kepala di atas bekel.
Selain itu berkurangnnya pemasukan pajak diperkirakan berasal dari sikep yang tidak sanggup membayarnya. Oleh karena itu, sikep harus diawasi sehingga bekel diberi tugas baru sebagai pengawas penarikan pajak dan sekaligus sebagai penjaga keamanan desa. Tugas tambahan ini secara tidak sengaja memunculkan peranan bekelsebagai penguasa desa, artinya ia mempunyai kekuasaan sebagai kepala desa.
Seperti halnya raja dan patuh, kekuasaannya didasarkan atas tanah yang dikuasainya. Bekel secara tidak langsung menguasai tanah yang ditebas dari raja atau patuh, sehingga ia memiliki kekuasaan di kabekel annya. Dalam hal ini berarti bekel dapat menguasai hasil sawah dan tenaga para sikep. Selain itu bekel juga berhak untuk menunjuk kuli kendho menguasai tanah yang baru dibuka. Dengan kata lain sikep sangat bergantung pada bekel. Dengan demikian, jelas bahwa kekuasaan bekeltidak berbeda dengan kepala-kepala di atasnya. Sebaliknya patuh juga bergantung pada bekel, karena bekel menguasai sumber daya pedesaan yaitu tanah dan tenaga kerja. Tanpa adanya hubungan ketergantungan akan sulit terjadi kehidupan sosial politik di atas suasana desa.
Kekuasaan bekel sebenaranya tidak berbeda dengan kekuasaan raja, sehingga bekeldisebut sebagai “raja kecil”. Ia memiliki otonomi sosial dan politik dan tidak tergantung dari pusat kerajaan. Secara ekonomis, bekel dapat melakukan pungutan dari para sikep, baik hasil bumi maupun tenaga kerja. Secara hierarkis, pengakuan kekuasaan ke atas hanya pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat pembayaran pajak dan upeti kepada raja, dan selebihnya merupakan kebebasan bekel.
Sisi lain otonomi yang berlebihan menyebabkan kekuasaan bekel tak terkendali sehingga ia dapat berbuat sekendaknya, terutama dalam mengeksploitasi sikep nya. Keadaan seperti ini tentu tidak diinginkan oleh penguasa pusat. Oleh karena itu perlu diangkat kepala-kepala di atas bekel. Jadi fungsi kepala-kepala itu dalam birokrasi dimaksudkan untuk mengontrol berbagai perkembangan di tingkat desa. Tak berlebihan kiranya apabila kekuasaan bekel dapat dipandang serupa dengan kekuasaan raja.Buku: Dr. Suhartono, Apanage dan Bekel; Perubahan Sosial di Pedesaan Surakarta 1830 - 1920,
Belum ada tanggapan untuk "Apanage dan Bekel"
Post a Comment