Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta; Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia




Sejarah Jakarta Tanpa Rakyat
Paling tidak hampir seluruh buku sejarah tentang Jakarta yang ditulis oleh orang Indonesia yang ada di dalam koleksi perpustakaan Koninklijk Instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde (KITLV) Leiden, dikenal karena memiliki koleksi yang lengkap tentang Indonesia, dapat dikategorikan sebagai sejarah yang ditulis sebagai catatan dokumentasi atau buku peringatan yang yang berfungsi menunjukan kebesaran Kota Jakarta masa lalu.

Dari tulisan-tulisan yang ada itu, sangat sulit ditemukan sejarah kehidupan sehari-hari masyarakat, terutama sejarah tentang kemiskinan dan kekumuhan masyarakat kebanyakan yang menjadi salah satu identitas kota Jakarta sejak berabad-abad lalu sampai saat ini. Padahal menurut berbagai laporan kolonial yang ada, paling tidak sejak tahun 1920-an para Gubernur Jendral Hindia-Belanda menyempatkan diri mengunjungi kampung-kapung kumuh di Jakarta (Surjomihardjo 2001), terlepas dari tujuan politis dari kunjungan itu. Sejarah yang ditulis oleh orang Indonesia itu cenderung merupakan sejarah pemerintahan di Jakarta, sejarah tentang institusi formal, bukan sejarah masyarakatnya.

Hampir sebagian besar tulisan sejarah tentang kota Jakarta itu bukan kajian sejarah sebagai naskah akademik, merupakan lebih merupakan publikasi yang secara sengaja ditulis sebagai dokumen resmi pemerintah atau informasi kepentingan pariwisata (Djakarta Raja 1953; Kutojo 1966; Bambang 1978; Ismed 1981; Tjandrasasmita 2001; Surjomihardjo 2000 2001). Kecuali tentang sejarah Masyarakat Cina dan Eropa di Jakarta, Sangat sulit menemukan karya ilmiah tentang Sejarah Jakarta yang telah diterbitkan dan ditulis oleh orang Indonesia.

Ironisnya gambaran tentang masa lalu kehidupan sehari-hari masyarakat Jakarta lebih mudah ditemukan dalam kajian ilmiah yang dilakukan oleh para Antropolog Indonesia bahkan Ahli Bahasa (Suparlan 1974, 1984). Bahkan buku pelajaran Ilmu Bumi untuk murid sekolah dasar, sketsa humor Gambang Jakarte tulisan Firman Muntaco di Berita Minggu, cerpen-cerpen S.M Ardan, lagu-lagu Benyamin S. Dan Iwan Fals, Film-film Benyamin S atau bahkan pantun-pantunnya memberi lebih banyak informasi masa lalu kehidupan sehari-hari di Jakarta dan Masyarakat Betawi daripada buku Sejarah. Gambaran tentang kehidupan sehari-hari juga lebih mudah ditemukan dalam bentuk visual lain seperti gambar atau foto koleksi pribadi, laporan media massa, film, kartu pos, iklan, karikatur dan lukisan daripada dalam karya-karya publikasi yang diberi label sejarah Jakarta.

Kehidupan Sehari-hari Kota di Tengah Kekumuhan
Jakarta menurut foto dan lukisan dari abad ke-19 ternyata bukan kota yang diatur sedemikian rupa sehingga tampak menarik. Disamping kemewahan dan kebesaran gaya kolonial yang ditampilkannya, Jakarta juga merupakan kota gersang dan semrawut yang memiliki jalan tanah berdebu pada musim kemarau dan becek serta berlubang pada musim hujan, kanal dengan air tidak jernih, sanitasi yang buruk, dan penduduknya terancam bajir dan malari sepanjang tahun. Selalu mengakibatkan persoalan pada penduduk setempat, panas kota jakarta yang tinggi juga telah menyebabkan kematian lebih dari 500 kuda milik perusahaan trem. Ketika trem yang ditarik dengan kuda diperkenalkan pada 1869. (Abeyasekere 1989:52).

Kebergaman suku bangsa menjadikan Jakarta sebagai sebuah kota mulitikultural, tetapi menunjukan adanya pemisahan ala kolonial yang jelas secara sosial. Jika dalam kehidupan sehari-hari dapat dilihat orang Cina, Arab, India dan terutama Bumiputra berjalan kaki sepanjang jalan, maka sulit ditemukan orang Eropa dan campuran Indis yang kaya mau melakukan hal yang sama, hampir mereka semua menggunakan kendaraan dalam kegiatan sehari-hari karena alasan sosial (Abeyasekere 1989).

Ketika trayek kereta api Bogor-Jakarta dibuka pada tahun 1871 dan trem bermesin uap beroperasi di Jakarta pada tahun 1881 orang Eropa duduk dibagian yang terpisah dari penduduk Bumiputra walaupun berada pada satu kereta api atau trem yang sama. Sementara itu keberadaan sepeda dan mobil semakin banyak di Jakarta pada awal abad ke-20, pada satu sisi mempertajam perbedaan sosial yang telah ada sebelumnya, namun di sisi lain menjadi media penghancur yang memberi kesempatan kepada kelompok masyarakat tertentu untuk berperilaku yang sama dengan yang lain.

Pada konteks yang lain, keberadaan sungai Ciliwung bersama sungai kecil lainnya dan pembangunan kanal-kanal pada masa VOC telah menempatkan air menjadi sesuatu yang penting dalam kehidupan sehari-hari. Menurut sebuah gambaran tentang kehidupan sehari-hari masyarakat Jkarta sekitar 1850-an, orang Betawi yang hidup dikampung-kampung di tengah kota dalam suasana pedesaan mandi di sungai Ciliwung.

Foto dari tahun 1870-an menunjukan penduduk yang tinggal tidak jauh dari benteng sekitar Glodok misalnya, sehari-hari menggunakan kanal yang ada di sekitarnya atau kali Krukut untuk mencuci, mandi, dan sekaligus menjadi jamban. Bangunan kecil yang digunakan sebagai kakus didirikan diatas kanal sepanjang jalan-jalan Toko Tiga, Pintu Kecil dan Pancoran, tempat sebagian besar masyarakat Cina bermukim (Wachlin 2004:45). Lukisan yang berasal dari periode yang lebih awal, tahun 1806 dan 1811, bahkan memperlihatkan yang lebih jelas lagi kegiatan sehari-hari penduduk di dalam dan di sepanjang kanal di tempat yang sama tanpa membedakan etnisitas dan kelas sosial. Dari profil yang ada dalam lukisan itu digambarkan bukan hanya penduduk bumiputra saja yang memanfaatkan kanal yang ada di dekat Willemkerk atau Gereja Imanuel itu untuk mandi, mencuci, kakus, dan bahkan bukan tidak mungkin untuk minum dan memasak melihat ada orang yang sedang membawa tempat air, melainkan penduduk Cina, Arab, dan bahkan Eropa atau paling tidak kelompok campuran Indis juga melakukan hal yang sama (Bastin dan Brommer 1979:51).

Secara Konseptual dapat dikatakan pada suatu masa tertentu atau paling tidak sampai dengan beberapak dekade awal abad ke-19, kegiatan mencuci, mandi, dan buang hajat di sungai dalam kehidupan sehari-hari tidak selalu bisa digunkan untuk menunjukan status sosial-ekonomi seseorang pada waktu itu, karena hal yang sama dilakukan oleh hampir semua kelompok sosial. Bahkan rumah-rumah besar milik orang Eropa dan Indis yang memiliki status sosial yang tinggi pada awalnya selalu membuat jamban dan kamar mandi di dekat atau diatas sungai. Baru pada pertengahan abad ke-19 orang-orang Eropa memiliki kamar mandi dan jamban di rumah mereka itupun masih sangat sederhana.

Di tengah-tengah kemewahan yang menyeruak seiring dengan perkembangan Jakarta sebagai pusat kegiatan pemerintahan dan ekonomi, kemiskinan sesuatu yang identik dengan Jakarta, urbanisasi yang terjadi akibat desa yang semakin tidak dapat memenuhi kebutuhan warganya, kilauan fatamorgana kota yang memikat, dan kekacauan di pedesaan akibat konflik politik nasional membuat banyak orang yang datang ke Jakarta pada akhir masa kolonial, selama perang dan terutama sejak tahun 1950-an (Heeren 1955). Pendatang terbesar mulanya datang dari daerah Jawa Barat, baru kemudian dari Jawa Tengah kemudian juga dari pulau-pulau lainnya.

Jumlah penduduk di Jakarta meningkat tajam, pada tahun 1930 penduduk Jakarta kurang lebih setengah juta meningkat tiga kali lipat dari tahun 1900. Jumlah itu terus bertambah mencapai lebih dari dua juta pada tahun 1950. Peningkatan jumlah itu juga mempengaruhi mutu kehidupan masyarakat, peningkatan migran yang besar tidak sebanding dengan lowongan pekerjaan yang tersedia dan lingkungan yang layak. Akibatnya sebagian besar pendatang itu bekerja pada sektor nonformal, seperti tukang becak, tukang reparasi sepeda, tukang pijat, pedagang kecil.

Hidup di lingkungan yang miskin dan kumuh bukan sesuatu hal baru bagi sebagian masyarakat Jakarta. Adanya kemiskinan dan perkampungan kumuh menjadi pembicaraan di Volksraad dan usaha perbaikan kampung pada tahun 1920-an. Ironisnya perbaikan kampung malah menjadi sebab dari tersingkirnya orang kebanyakan dari rumah mereka di tengah kota atau terpaksa harus tinggal jauh dari tempat kerja karena kenaikan harga tanah serta sewa, dan tindakan pemerintah yang menghancurkan kampung dan rumah-rumah mereka yang tidak layak huni. Sehingga malah menjadikan masyarakat lebih miskin karena kehilangan mata pencaharian. Maka mereka yang tidak beruntung menjadi seorang tenaga kasar atau menjalani pekerjaan yang berat untuk hidup.

Postingan terkait:

Belum ada tanggapan untuk "Menulis Kehidupan Sehari-hari Jakarta; Memikirkan Kembali Sejarah Sosial Indonesia"

Post a Comment